Jurnal Indikator Pembangunan Ekonomi Di Bidang Pendidikan
Ekonomi Indonesia |
|
---|---|
![]() Bala, pusat keuangan Jakarta |
|
Mata uang | Rupiah (IDR, Rp) |
Tahun fiskal | Tahun kalender |
Organisasi perdagangan | ADB, AFTA, APEC, Association of southeast asian nations, D-8, EAS, G-20, IORA, MIKTA, OPEC, RCEP, WTO, dan lainnya |
Statistik | |
PDB |
|
PDB per kapita |
|
PDB per sektor |
|
Inflasi (IHK) |
▲ i,87% (2021)[three] |
Penduduk di bawah garis kemiskinan |
▼ 2,5% dalam kemiskinan ekstrem (est. 2021)[4]
▼
|
Koefisien gini |
▲ 37,iii sedang (2021)[ix] |
Angkatan kerja berdasarkan sektor |
|
Pengangguran |
▼ half dozen,0% (est. 2022)[i] |
Industri utama | minyak sawit, batu bara, minyak bumi, petrokimia, gas alam cair (LNG), kendaraan, barang elektronik, peralatan material-handling, permesinan, baja, telekomunikasi, energi listrik, pengolahan makanan, pengolahan kayu, tekstil, alas kaki, barang konsumen, sirkuit terpadu, peralatan medis, alat-alat optik, kertas, kerajinan tangan, bahan kimia, karet, farmasi, jasa keuangan, seafood, peleburan, dan pariwisata |
Peringkat kemudahan melakukan bisnis |
![]() ke-73 (mudah, 2020)[11] |
Eksternal | |
Ekspor |
![]() US$231,6 miliar (2021)[12] |
Komoditas ekspor | minyak sawit, baja, logam, mesin dan peralatan industri, bahan kimia, gas alam cair (LNG), produk tekstil, produk alas kaki, mobil, produk transportasi, produk kayu, produk plastik |
Tujuan ekspor utama |
|
Impor |
![]() US$196,19 miliar (2021)[12] |
Komoditas impor | mesin dan peralatan industri, baja, bahan makanan, produk minyak bumi, barang elektronik, bahan mentah, bahan kimia, produk transportasi |
Negara asal impor utama |
|
Modal investasi langsung asing |
|
Utang kotor luar negeri | Us$423,1 miliar (Q2 2021)[xiii] |
Pembiayaan publik | |
Utang publik |
▼ 37,0% dari PDB (Q3 2021)[13] |
Pendapatan | United states of america$142 miliar (est. 2021)[14] |
Beban | United states of america$191 miliar (est. 2021)[2] |
Peringkat utang |
|
Cadangan mata uang asing | US$146,9 miliar (September 2021)[20] |
Sumber data utama: CIA World Fact Book |
Ekonomi Republic of indonesia
merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan merupakan salah satu ekonomi pasar berkembang. Sebagai negara berpenghasilan menengah & anggota Chiliad-20, Indonesia tergolong ke dalam negara industri baru.[21]
Indonesia adalah ekonomi terbesar ke-17 di dunia berdasarkan PDB nominal dan terbesar ke-7 dalam hal PDB Keseimbangan Kemampuan Berbelanja (KKB). Pada tahun 2019, ekonomi Cyberspace Indonesia mencapai U.s.$twoscore miliar, dan diperkirakan akan mencapai US$130 miliar pada tahun 2025.[22]
Indonesia bergantung pada pasar domestik dan pembelanjaan anggaran pemerintah dan kepemilikannya atas badan usaha milik negara (BUMN) (pemerintah pusat memiliki 141 BUMN). Administrasi harga berbagai barang kebutuhan pokok (termasuk beras dan listrik) juga memainkan peran penting dalam ekonomi pasar Namun, sejak tahun 1990-an, mayoritas perekonomian Republic of indonesia dikuasai secara perorangan dan oleh perusahaan asing.[23]
[24]
[25]
Setelah krisis moneter 1997, pemerintah mengambil alih sebagian besar aset sektor swasta melalui akuisisi pinjaman bank bermasalah dan aset perusahaan melalui proses restrukturisasi utang dan perusahaan yang ditahan dijual untuk privatisasi beberapa tahun kemudian. Sejak 1999, ekonomi Indonesia telah pulih. Pertumbuhan telah meningkat menjadi lebih dari iv–six% dalam beberapa tahun terakhir.[26]
Pada tahun 2012, Indonesia menggantikan India sebagai ekonomi Chiliad-20 dengan pertumbuhan tercepat kedua, di belakang Tiongkok. Sejak itu, tingkat pertumbuhan tahunan berfluktuasi sekitar 5%.[27]
[28]
Namun, Indonesia menghadapi resesi pada tahun 2020, ketika pertumbuhan ekonomi anjlok hingga −two,07% akibat pandemi COVID-19. Ini adalah pertumbuhan terburuk sejak krisis moneter 1997.[29]
Pada tahun 2021, produk domestik bruto Republic of indonesia tumbuh 3,69%, karena penghapusan pembatasan COVID-19 serta rekor ekspor tertinggi yang didorong oleh harga komoditas yang lebih kuat.[30]
Indonesia diprediksi menjadi ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2045. Joko Widodo telah menyatakan bahwa perhitungan kabinetnya menunjukkan bahwa pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki penduduk sebanyak 309 juta jiwa. Menurut perkiraan Jokowi, akan ada pertumbuhan ekonomi 5−half dozen% & PDB sebesar US$nine,one triliun. Pendapatan per kapita Indonesia diperkirakan mencapai US$29.000.[31]
Sejarah Ekonomi Indonesia
[sunting
|
sunting sumber]
Orde lama
[sunting
|
sunting sumber]
Pada periode 1960-1965, Indonesia mengalami kemunduran ekonomi dengan penurunan pendapatan per kapita menjadi rata-rata 0,one% serta pertumbuhan ekonomi hanya 2%.[32]
Kondisi ini juga diikuti dengan hiperinflasi dari 250% menjadi 650%.[33]
Orde Baru (1966-1998)
[sunting
|
sunting sumber]
Seiring dengan munculnya berbagai demonstrasi di kalangan masyarakat untuk menuntut Presiden Soekarno mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari twenty tahun akibat gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan masyarakat menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akibat berbagai demonstrasi tersebut, memutuskan untuk memulai transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret sebagai landasan hukum untuk mengizinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk segera menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik.
Utang luar negeri menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak kondusif menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh Soeharto yang baru saja menjabat sebagai Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no i Tahun 1967 yang bertujuan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berupa investasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus sebagai upaya mengembalikan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keamanan Indonesia di mata dunia. Tercatat, sejak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang telah ditanamkan di Republic of indonesia telah mencapai lebih dari Us$ nine Miliar dari 30 negara.[34]
Setelah pemerintahan diampu oleh Soeharto, beberapa keadaan ekonomi mulai membaik. Angka inflasi berhasil diturunkan dalam waktu satu tahun menjadi 112% pada tahun 1967 dan terus berlanjut menjadi 85% pada tahun 1968. Akhirnya turun drastis menjadi ten% pada 1969 sebelum di mulainya program Repelita.[35]
Pemerintahan orde baru juga berhasil memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dengan menaikkan pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya hanya ii% menjadi rata-rata v%. Perkembangan ekonomi ini makin membaik setelah pengenalan program Repelita one yang dimulai pada tanggal 1 April 1969. Berkat program ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa itu mencapai rata-rata vi% pada periode 1969-1973, yaitu saat Repelita I berlangsung.[36]
Pada akhir Repelita 1, laju inflasi kembali mengalami kenaikan setelah turun ke angka terendahnya, yaitu 4,vi% pada tahun 1971. Kenaikan ini diakibatkan membaiknya harga pasar komoditi internasional serta peningkatan kredit perbankan mencapai 60% pada perioude 1973/1974. Akibat kondisi ini, inflasi mencapai 41% pada tahun 1974. Sebagai langkah penanggulangan inflasi yang mungkin akan terus meningkat, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan Paket Anti Inflasi pada tanggal nine Apr 1974.[37]
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $seventy menjadi lebih dari $ane.100 pada 1997.[38]
Peningkatan ini menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara pendapatan menengah ke bawah yang sebelumnya berada dalam kategori negara pendapatan rendah.[39]. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar five%-ten%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing. Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. Gross domestic product nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997, menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Longgarnya kebijakan pemerintah dan institusi jasa keuangan saat itu dan meningkatnya nilai ekspor barang non-migas, membuat banyak jasa keuangan berupa bank, asuransi dan berbagai lembaga keuangan lainnya muncul dengan tujuan mendapat keuntungan dari fasilitasi ekspor, namun dengan modal inti yang sering kali kurang.
Tanpa disadari oleh pemerintah dan institusi keuangan sendiri, besarnya kesempatan untuk membiayai fasilitasi ekspor tersebut, perlahan-lahan mulai menunjukkan bahwa pertumbuhan jasa keuangan tidak berkualitas, mulai memakan korban berupa tutupnya beberapa bank secara berantai akibat gagal menarik kredit yang macet, hingga modal inti yang kurang mulai menandai gelapnya perkembangan jasa keuangan yang saat itu tengah tumbuh pesat. Belum lagi dengan sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-“collateral” menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan not-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor menjadi bom waktu yang akan mewarnai kejatuhan ekonomi nasional.
Hal ini mencapai puncaknya ketika Krisis finansial terjadi di Asia dan merembet hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Dengan defisit anggaran yang sudah mencapai lebih dari 60% dari PDB nasional, ditambah dengan rasio NPL (kredit macet) yang sudah mencapai 20% lebih membuat pemerintah dan institusi pengawasan kegiatan keuangan hanya bisa memperlambat dan mengurangi parahnya krisis tersebut dengan menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai membebani anggaran negara dan berpotensi melebarkan defisit anggaran, berupa penutupan program pesawat nasional, permobilan nasional hingga subsidi ekspor komoditas. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca-Soeharto
[sunting
|
sunting sumber]
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan International monetary fund menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010, ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihi Rp vi,300 triliun
[40]
meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah Bharat dan China, Republic of indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[41]
oleh International monetary fund dalam juta rupiah.
Tahun | PDB | % Pertumbuhan/tahun (bunga majemuk) |
---|---|---|
1980 | 60,143.191 | |
1985 | 112,969.792 | thirteen.5 |
1990 | 233,013.290 | fifteen.5 |
1995 | 502,249.558 | 16.6 |
2000 | 1,389,769.700 | 22.6 |
2005 | 2,678,664.096 | 14.0 |
2010 | half dozen,422,918.230 | nineteen.1 |
Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar. Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih kecil, bahkan mungkin negatif.
Kajian Pengeluaran Publik
[sunting
|
sunting sumber]
Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi di mana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui “perubahan besar” desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar[42]
tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$v miliar[42]
telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$xv miliar[42]
ekstra untuk dibelanjakan pada plan pembangunan. Negara ini belum mengalami ‘ruang fiskal’ yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970-an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Republic of indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, full subsidi masih sekitar US$ 10 miliar[42]
dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15% dari anggaran full.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 – Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen[42]
dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Republic of indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Republic of indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17,2%[42]
dari full belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3,9%[42]
dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2% dari PDB pada tahun 2001[42]
– sebaliknya full belanja kesehatan publik masih di bawah ane% dari PDB[42]. Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3,4% dari PDB[42]. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar xv% pada tahun 2006[42], menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Pada 2012, Republic of indonesia menggantikan India sebagai negara anggota G20 dengan ekonomi tercepat kedua setelah China. Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di kisaran angka 5%.[43]
[44]
Pada 1 Juli 2020, Depository financial institution Dunia memutuskan Indonesia dikelompokkan sebagai negara berpenghasilan menengah keatas dengan pendapatan nasional bruto Indonesia pada tahun 2019 sebesar United states of america$4.050, sedikit di atas klasifikasi Bank Dunia bahwa negara berpendapatan menengah keatas per-kapitanya berkisar Usa$iv.046-US$12.535. Hal lain menurut Banking company Dunia, adalah bahwa populasi kelas menengah di Republic of indonesia saat ini sekitar 52 juta orang dengan pengeluaran Rp 1,2-6 juta perorang perbulan.[45]
Kebijakan Saat Orba
[sunting
|
sunting sumber]
Setelah mengalami gejolak politik dan sosial yang hebat pada pertengahan 1960-an di bawah Presiden Soekarno, Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto segera melakukan restrukturisasi tata kelola fiskal yang tercerai-berai akibat berbagai kebijakan ekonomi yang memberatkan perimbangan neraca APBN yang ada dengan berbagai cara, dari mengadakan renegosiasi terkait pembayaran utang jatuh tempo hingga meminta Imf untuk mengasistensi pengelolaan fiskal Indonesia yang masih rapuh. Selama 2 dekade Indonesia membangkitan kembali ekonomi, ekonomi Indonesia yang ditopang dari kegiatan industri dan perdagangan berbasis ekspor menggerakkan ekonomi Indonesia masuk sebagai salah satu
The East Asia Miracle
pada tahun 1990-an, di mana Indonesia mampu menciptakan stabilitas politik, sosial dan pertahanan-keamanan yang menjadi fondasi ekonomi yang kuat untuk menghasilkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang dari sektor industri manufaktur berbasis ekspor dan industri pengolahan sumber daya alam. Alhasil, ekonomi Indonesia menjadi salah satu ekonomi yang terindustrialisasi seperti Jepang, Korea Selatan dan Thailand. Meski Republic of indonesia berhasil mencapai stabilitas polsoshankam dan industri manufaktur dan pengolahan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan tol, pelabuhan, kereta api dan bandara yang ada di Indonesia tidak mampu mengejar pertumbuhan kebutuhan pasar yang ada dan perlahan, hal ini mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa akibat minimnya pembangunan infrastruktur transportasi di luar pulau Jawa, mengakibatkan terjadi maraknya urbanisasi massal warga luar Pulau Jawa yang menuju Pulau Jawa memunculkan kesimpulan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diperuntukkan untuk Pulau Jawa sendiri. Tidak hanya itu saja, pengelolaan fiskal APBN yang mulai menunjukkan perimbangan neraca yang tidak sehat dan penegakan regulasi dan pengawasan kegiatan sektor finansial yang lemah karena minimnya kecakapan instansi untuk mengatur kegiatan sektor jasa keuangan mengakibatkan terjadinya pertumbuhan pinjaman tidak bergerak yang tidak terkendali, hal ini tidak lepas juga dari peran regulator finansial yang gagal untuk menegakkan peraturan untuk memberikan pertanggungjawaban sosial perusahaan berupa edukasi keuangan kepada rakyat.
Hal tersebut mencapai titik klimaksnya ketika Krisis moneter 1998 merebak ke berbagai negara di Asia, ketika jaring pengaman sistem keuangan gagal menahan epidemi krisis moneter tersebut masuk ke Indonesia, maka merebaklah krisis tersebut kesemua sektor perekonomian dan menjangkiti industri keuangan Indonesia yang akhirnya menjadi awal kejatuhan ekonomi dan segala pencapaian yang Indonesia raih yang diawali dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja massal yang berakhir dengan berbagai kerusuhan yang menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republic of indonesia, membuat Indonesia mau tidak mau harus meminta IMF untuk mengajukan pinjaman untuk melakukan normalisasi ekonomi Indonesia yang sudah sakit akibat harus menanggung biaya yang sangat berat akibat kegagalan jaringan sistem pengamanan keuangan Indonesia saat itu untuk mendeteksi adanya kejatuhan sistem keuangan secara sistemik dan mengantisipasi terjadinya peningkatan beban yang luar biasa, hal ini tidak lepas dari ketidakmampuan rezim Soeharto yang tidak mampu menciptakan ekonomi yang berpondasi kuat untuk mengantisipasi dan menghadapi bahaya ekonomi, ditambah lagi dengan kurang cakapnya pejabat dan sistem yang terkait untuk mengantisipasi adanya krisis moneter tersebut.
Data
[sunting
|
sunting sumber]
Tabel berikut menunjukkan indikator ekonomi utama tahun 1980–2020. Inflasi di bawah 5% berwarna hijau.[46]
Tahun | PDB (KKB) (miliar USD) [47] |
PDB (KKB) per kapita (USD) [48] |
Persentase dari total PDB (KKB) dunia | Pertumbuhan PDB (KKB) (riil) [49] |
Pertumbuhan PDB (KKB) per kapita (riil) [50] |
Tingkat inflasi [51] |
Hutang pemerintah (dari PDB (KKB)) [52] |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1980 |
![]() 189,9 |
![]() ane.287 |
![]() 1,42% |
![]() 9,88% |
N/A |
▲ 18,0% |
N/A |
1981 |
![]() 223,vi |
![]() 1.487 |
![]() 1,50% |
![]() 7,60% |
N/A |
▲ 12,2% |
N/A |
1982 |
![]() 242,8 |
![]() i.583 |
![]() ane,53% |
![]() 2,24% |
Northward/A |
▲ 9,48% |
N/A |
1983 |
![]() 262,9 |
![]() 1.681 |
![]() i,56% |
![]() 4,nineteen% |
North/A |
▲ 11,7% |
N/A |
1984 |
![]() 293,0 |
![]() 1.837 |
![]() 1,61% |
![]() seven,57% |
N/A |
▲ ten,4% |
N/A |
1985 |
![]() 314,1 |
![]() ane.931 |
![]() 1,62% |
![]() iii,91% |
Northward/A |
▼ 4,7% |
N/A |
1986 |
![]() 343,5 |
![]() 2.070 |
![]() 1,67% |
![]() 7,18% |
N/A |
▲ 5,8% |
N/A |
1987 |
![]() 375,1 |
![]() 2.217 |
![]() ane,71% |
![]() half-dozen,57% |
N/A |
▲ ix,ii% |
Northward/A |
1988 |
![]() 415,4 |
![]() ii.408 |
![]() 1,75% |
![]() 6,97% |
Due north/A |
▲ 8,0% |
N/A |
1989 |
![]() 470,9 |
![]() 2.677 |
![]() i,85% |
![]() 9,08% |
North/A |
▲ 6,4% |
Due north/A |
1990 |
![]() 559,i |
![]() 3.082 |
![]() ane,90% |
![]() seven,24% |
![]() 5,34% |
▲ ix,0% |
▼ 45,7% |
1991 |
![]() 617,9 |
![]() 3.347 |
![]() two,00% |
![]() half dozen,91% |
![]() five,07% |
▲ eight,vii% |
▼ 40,3% |
1992 |
![]() 673,1 |
![]() 3.585 |
![]() 2,08% |
![]() half-dozen,49% |
![]() 4,71% |
▲ 7,2% |
▲ 42,7% |
1993 |
![]() 733,8 |
![]() 3.845 |
![]() 2,17% |
![]() 6,49% |
![]() 4,76% |
▲ 19,one% |
▼ 37,4% |
1994 |
![]() 806,0 |
![]() 4.156 |
![]() two,26% |
![]() 7,54% |
![]() 5,84% |
▲ 7,eight% |
▼ 36,5% |
1995 |
![]() 890,v |
![]() four.522 |
![]() 2,37% |
![]() 8,22% |
![]() vi,56% |
▲ ix,8% |
▼ xxx,8% |
1996 |
![]() 977,8 |
![]() 4.891 |
![]() 2,46% |
![]() 7,81% |
![]() six,21% |
▲ 8,six% |
▼ 23,9% |
1997 |
![]() 1.041,0 |
![]() 5.134 |
![]() two,47% |
![]() 4,70% |
![]() 3,19% |
▲ 12,6% |
▲ 72,five% |
1998 |
![]() 914,8 |
![]() 4.447 |
![]() two,17% |
![]() -thirteen,12% |
![]() -14,35% |
▲ 75,iii% |
▼ 55,ii% |
1999 |
![]() 935,4 |
![]() 4.484 |
![]() 2,05% |
![]() 0,79% |
![]() -0,61% |
▲ 14,2% |
▼ 45,2% |
2000 |
![]() i.003,0 |
![]() 4.743 |
![]() 2,04% |
![]() four,92% |
![]() iii,48% |
▲ xx,4% |
▲ 87,4% |
2001 |
![]() 1.063,0 |
![]() four.956 |
![]() 2,07% |
![]() three,64% |
![]() ii,23% |
▲ 14,3% |
▼ 73,7% |
2002 |
![]() 1.128,0 |
![]() 5.190 |
![]() 2,09% |
![]() iv,49% |
![]() 3,09% |
▲ five,ix% |
▼ 62,3% |
2003 |
![]() i.204,0 |
![]() 5.465 |
![]() ii,12% |
![]() four,78% |
![]() 3,37% |
▲ 5,4% |
▼ 55,6% |
2004 |
![]() 1.299,0 |
![]() 5.816 |
![]() ii,xi% |
![]() five,03% |
![]() three,63% |
▲ 8,5% |
▼ 51,3% |
2005 |
![]() 1.415,0 |
![]() 6.254 |
![]() 2,13% |
![]() v,69% |
![]() 4,29% |
▲ 14,3% |
▼ 42,6% |
2006 |
![]() ane.538,0 |
![]() half dozen.708 |
![]() two,12% |
![]() 5,50% |
![]() 4,x% |
▲ 14,0% |
▼ 35,eight% |
2007 |
![]() 1.680,0 |
![]() 7.229 |
![]() two,14% |
![]() half dozen,34% |
![]() 4,94% |
▲ 11,2% |
▼ 32,3% |
2008 |
![]() 1.816,0 |
![]() vii.710 |
![]() 2,18% |
![]() six,01% |
![]() 4,62% |
▲ 18,1% |
▼ xxx,three% |
2009 |
![]() 1.914,0 |
![]() viii.021 |
![]() 2,28% |
![]() iv,62% |
![]() 3,24% |
▲ 8,2% |
▼ 26,4% |
2010 |
![]() 2.056,9 |
![]() 8.655 |
![]() 2,29% |
![]() 6,22% |
![]() 4,81% |
▲ 5,ane% |
▼ 24,5% |
2011 |
![]() 2.229,5 |
![]() nine.213 |
![]() ii,34% |
![]() 6,17% |
![]() iv,74% |
▲ v,3% |
▼ 23,ane% |
2012 |
![]() 2.413,four |
![]() ix.833 |
![]() 2,41% |
![]() six,03% |
![]() 4,60% |
▼ three,9% |
▼ 22,9% |
2013 |
![]() 2.535,0 |
![]() 10.188 |
![]() 2,41% |
![]() 5,55% |
![]() iv,fifteen% |
▲ 6,4% |
▲ 24,8% |
2014 |
![]() 2.622,2 |
![]() 10.398 |
![]() two,40% |
![]() 5,00% |
![]() 3,63% |
▲ six,3% |
▼ 24,7% |
2015 |
![]() ii.647,seven |
![]() 10.359 |
![]() two,38% |
![]() 4,87% |
![]() 3,55% |
▲ 6,iii% |
▲ 26,ix% |
2016 |
![]() 2.744,nine |
![]() x.618 |
![]() 2,38% |
![]() v,03% |
![]() 3,76% |
▼ 3,5% |
▲ 27,9% |
2017 |
![]() ii.894,1 |
![]() 11.073 |
![]() two,38% |
![]() five,07% |
![]() 3,84% |
▼ 3,eight% |
▲ 28,7% |
2018 |
![]() three.116,viii |
![]() 11.798 |
![]() 2,42% |
![]() 5,17% |
![]() 3,98% |
▼ three,2% |
▲ 29,eight% |
2019 |
![]() 3.331,eight |
![]() 12.483 |
![]() 2,47% |
![]() 5,02% |
![]() 3,87% |
▼ 2,8% |
▲ 30,one% |
2020 |
![]() iii.328,two |
![]() 12.345 |
![]() two,55% |
![]() -2,07% |
N/A |
▼ 2,0% |
▲ 38,5% |
2021 |
![]() 4.349,five |
![]() 12.967 |
![]() 2,44% |
![]() iii,20% |
N/A |
![]() 1,5% |
▲ 38,1% |
2022 |
![]() 4.505,5 |
![]() 13.981 |
![]() 2,47% |
![]() v,94% |
N/A |
![]() 2,8% |
▲ 40,1% |
Referensi
[sunting
|
sunting sumber]
-
^
a
b
c
d
e
“Report for Selected Countries and Subjects”.
International monetary fund.org. Dana Moneter Internasional. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
a
b
c
d
“CIA World Factbook”.
CIA.gov. Badan Intelijen Pusat. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Inflasi terjadi pada Desember 2021 sebesar 0,57 persen. Inflasi tertinggi terjadi di Jayapura sebesar one,91 persen”.
Badan Pusat Statistik. iii Januari 2022. Diakses tanggal
ix Mei
2022.
-
^
“worldpoverty 2021”.
worldpoverty.
-
^
“Global Multidimensional Poverty Index 2020”
(PDF).
UNDP
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Badan Pusat Statistik”.
Badan Pusat Statistik. 17 Juli 2021. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Poverty headcount ratio at $one.90 a day (2011 PPP) (% of population) – Indonesia | Data”.
data.worldbank.org
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Poverty headcount ratio at $iii.xx a day (2011 PPP) (% of population) – Republic of indonesia | Information”.
data.worldbank.org
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Gini index (World Bank estimate) – Republic of indonesia | Data”.
data.worldbank.org
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Indonesia : Distribution of employment by economic sector from 2010 to 2020”.
statista.com. Statista. Diakses tanggal
ix Mei
2022.
-
^
“Ease of Doing Business in Indonesia”. Banking concern Dunia. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
a
b
c
d
“BPS Indonesia”.
www.bps.go.id/
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
a
b
“Republic of indonesia sex’s External Debt Growth in Q3/2021 Remained Manageable”.
world wide web.bi.go.id
. Diakses tanggal
ix Mei
2022.
-
^
“Realisasi Pendapatan Negara 2021”. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
https://www.jcr.co.jp/download/6636ddac61f269abafa96cf04a6f048b1f8a634cf4e39f03ac/19i0083_BIndonesia_f_corrected_Feb42020.pdf -
^
“Indonesia | Japan Credit Rating Agency, LTD. – JCR”.
-
^
“Republic of indonesia | Japan Credit Rating Agency, LTD. – JCR”.
-
^
a
b
“Republic of indonesia Credit Rating”.
Globe Government Bonds
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Fitch Affirms Indonesia at ‘BBB’; Outlook Stable”. Diakses tanggal
nine Mei
2022.
-
^
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/08/berkat-surat-utang-cadangan-devisa-juni-naik-ke-us1364-miliar=Cadangan%20Devisa%20Indonesia%20(Juni%202021%2DJuni%202022)&text=Berdasarkan%20data%20BI%2C%20posisi%20cadangan,angka%20US%24135%2C6%20miliar.
-
^
[1], g20.org. Diakses pada 9 Mei 2022. -
^
Kurmala, Azis. Suharto, ed. “Indonesia poised to become Southeast Asian giant in digital economy”.
ANTARA News
. Diakses tanggal
nine Mei
2022.
-
^
“Kemenperin – Ketika Swasta Mendominasi”. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2022.
-
^
Adhi, Adrianus (three Maret 2015). “80 Persen Industri Indonesia Disebut Dikuasai Swasta”.
Tribunnews.com.
-
^
“Kemenperin – Pengelola Kawasan Industri Didominasi Swasta”. Diarsipkan dari versi asli tanggal ix Mei 2022. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Acicis – Dspp”. Acicis.murdoch.edu.au. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Gdp growth (annual %)”.
data.worldbank.org
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Why Indonesia’due south Credible Stability Under Jokowi Is a Sign of Its Stagnation”.
worldpoliticsreview.com
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
South, Lidya Julita. “Pertumbuhan Ekonomi 2020 -2,07%, Terburuk Sejak Krismon 98!”.
CNBC Republic of indonesia
. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Chirapsia expectations, Republic of indonesia’s economy grows 5 per centum in Q4”.
www.aljazeera.com
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
“Indonesia Volition be Earth’due south quaternary Largest Economic system by 2045, President Jokowi Says”.
Sekretariat Kabinet Republik Republic of indonesia. 27 Maret 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Mei 2022. Diakses tanggal
9 Mei
2022.
-
^
Soeharto (1995). “Address of country H.E the President of the Republic of Indonesia Soeharto”. Dalam Alatas, Ali; Moerdiono; Ave, Joop; Sutresna, Nana S; Dharmaputra, Garnawan; Sukartiko, Rachmat; Achjadi, A.S.
Indonesia, the first 50 years, 1945-1995. Buku Antar Bangsa. Djakarta: Buku Antar Bangsa. hlm. 69. ISBN 979-8926-00-5. OCLC 37405350.
-
^
“Soeharto, Pernah Naikkan Martabat Indonesia”.
Kompas.com. 27 Januari 2008. Diakses tanggal
4 November
2021.
-
^
Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Republic of indonesia-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015. -
^
Sari, Elisa Valenta (fourteen September 2015). “Kisah Inflasi 650 Persen dan Cerutu Ali Wardhana”.
CNN Republic of indonesia
. Diakses tanggal
16 November
2021.
-
^
Badan Pusat Statistik (2015).
Statistik lxx th. Indonesia merdeka
(PDF). Dki jakarta, Republic of indonesia: Badan Pusat Statistik. hlm. 110. ISBN 978-979-064-858-vi. OCLC 971018639. Diarsipkan dari versi asli
(PDF)
tanggal 2021-11-xv. Diakses tanggal
2021-11-fifteen
.
-
^
Sukendar, Anang (2000). “Pengujian dan pemilihan model inflasi dengan non nested exam studi kasus perekonomian indonesia periode 1969-1997”
(PDF).
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
15
(2): , 164 – 178.
-
^
Ardanareswari, Indira (1 April 2020). “Repelita ala Orba: Pembangunanisme yang Mengandalkan Modal Asing”.
Tirto.id
. Diakses tanggal
16 Nov
2021.
-
^
“Produk Domestik Bruto Republic of indonesia”.
www.indonesia-investments.com
. Diakses tanggal
16 November
2021.
-
^
http://www.antaranews.com/berita/1273491621/bps-pdb-2010-minimal-rp6300-triliun -
^
Edit/Review Countries -
^
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
[2] -
^
“GDP growth (annual %)”.
data.worldbank.org
. Diakses tanggal
2017-08-05
.
-
^
“Why Indonesia’south Apparent Stability Nether Jokowi Is a Sign of Its Stagnation”.
worldpoliticsreview.com
. Diakses tanggal
2020-05-06
.
-
^
“Pekerjaan Rumah Pacu Kelas Menengah”.
Kompas. 4 Juli 2020. Hlm. 1 & 15. -
^
“Report for Selected Countries and Subjects: Oct 2020 Indonesia”.
imf.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
16 October
2020.
-
^
“Republic of indonesia Gdp world depository financial institution”.
data.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
thirty September
2020.
-
^
“Indonesia GDP Percapita world bank”.
data.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
30 September
2020.
-
^
“Indonesia Gdp Growth globe bank”.
information.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
xxx September
2020.
-
^
“Indonesia Gross domestic product Per capita Growth world depository financial institution”.
data.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
30 September
2020.
-
^
“Indonesia Inflation world bank”.
data.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
30 September
2020.
-
^
“Republic of indonesia Central Government Debt world bank”.
data.worldbank.org
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
30 September
2020.
Lihat pula
[sunting
|
sunting sumber]
- Daftar provinsi di Indonesia menurut PDRB
- Daftar provinsi di Indonesia menurut PDRB per kapita
Jurnal Indikator Pembangunan Ekonomi Di Bidang Pendidikan
Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia